FAKTOR
VIRULENSI α-HEMOLYSIN
DARI Staphylococcus
aureus
Disusun oleh :
Nama :
Dian Reviyanti
NIM : M0412018
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram
Positif, tidak bergerak, tidak berspora dan mampu membentuk kapsul, berbentuk
kokus dan tersusun seperti buah anggur.
Ukuran Staphylococcus berbeda-beda tergantung pada media pertumbuhannya.
Apabila ditumbuhkan pada media agar, Staphylococcusmemiliki diameter
0,5-1,0 mm dengan koloni berwarna kuning. Dinding selnya mengandung asam
teikoat, yaitu sekitar 40% dari berat kering dinding selnya. Asam teikoat
adalah beberapa kelompok antigen dari Staphylococcus. Asam teikoat
mengandung aglutinogen dan N-asetilglukosamin (Dwijoseputro, 2003).
Staphylococcus
aureus adalah
bakteri aerob dan anaerob, fakultatif yang mampu menfermentasikan manitol dan
menghasilkan enzim koagulase, hyalurodinase, fosfatase, protease dan
lipase. Staphylococcus aureus mengandung lysostaphin yang dapat
menyebabkan lisisnya sel darah merah. Toksin yang dibentuk
oleh Staphylococcus aureus adalah haemolysin alfa, beta, gamma delta
dan apsilon. Toksin lain ialah leukosidin, enterotoksin dan eksfoliatin.
Enterotosin dan eksoenzim dapat menyebabkan keracunan makanan terutama yang
mempengaruhi saluran pencernaan. Leukosidin menyerang leukosit sehingga daya
tahan tubuh akan menurun. Eksofoliatin merupakan toksin yang menyerang kulit
dengan tanda-tanda kulit terkena luka bakar (Irianto, 2008).
Staphylococcus aureus yang
banyak ditemukan padapada tubuh manusia, seperti di ingus, dahak, tangan,
kulit, luka terinfeksi, bisul dan jerawat, serta pada feses dan rambut. Lebih
jauh, keberadaan bakteri ini, justru diperkirakan terdapat pada 20 persen orang
dengan kondisi kesehatan yang tampaknya baik ( Prince et al., 2012).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Staphylococcus aureus ?
2. Bagaimana
struktur dari Staphylococcus aureus ?
3. Bagaimana
faktor virulensi alpha hemolysin dari Staphylococcus aureus ?
C.
Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana salah satu factor virulensi yaitu α-hemolysin pada bakteri
Staphylococcus aureus
.
D. Manfaat
Penulisan
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan makalah
sebagai berikut :
1. Untuk memberikan wawasan kepada kami
penulis dan khususnya bagi pembaca makalah ini agar mendapat pemahaman yang cukup
mengenai Bakteri Staphylococcus aureus.
2. Memberikan pengetahuan bagaimana salah
satu factor virulensi yaitu α-hemolysin pada bakteri Staphylococcus aureus.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bakteri Staphylococcus
aureus
Staphylococcus merupakan sel berbentuk bulat dengan
garis tengah sekitar 1 m dan tersusun dalam kelompok-kelompok tidak
beraturan. Pada biakan cair tampak juga kokus tunggal, berpasangan, berbentuk
tetrad dan berbentuk rantai. Kokus muda bersifat Gram positif kuat, sedangkan
pada biakan yang lebih tua, banyak sel menjadi Gram negatif.
Staphylococcus tidak bergerak dan tidak membentuk
spora. Oleh pengaruh obat-obat seperti penisilin, Staphylococcus dilisiskan.
Staphylococcus aureus adalah bakteri bola berpasang-pasangan
atau berkelompok seperti buah anggur dengan diameter antara 0,8 mikron-1,0
mikron, non motil, tidak berspora dan bersifat gram positif. Namun
kadang-kadang ada yang bersifat gram negatif yaitu pada bakteri yang telah
difagositos atau pada biakan tua yang hampir mati (Dwijoseputro, 2003).
Scientific Classificatin
Domain
: Bacteria
Kingdom : Eubacteria
Phylum : Firmicutes
Class : Bacilli
Order : Bacillales
Family : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Species : S. aureus
Kingdom : Eubacteria
Phylum : Firmicutes
Class : Bacilli
Order : Bacillales
Family : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Species : S. aureus
S.
aureus
dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya
tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat
ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai
faktor virulensi dapat berupa protein,
termasuk enzim dan toksin, contohnya :
1. Katalase
Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri
terhadap proses fagositosis. Tes adanya aktivi tas
katalase menjadi pembeda g enus Staphylococcus dari
Streptococcus.
2. Koagulase
Enzim ini dapat menggumpalkan plasma
oksalat atau plasma sitrat, karena adanya
faktor koagulase reaktif dalam serum yang
bereaksi dengan enzim tersebut. Esterase yang
dihasi lkan dapat meningkatkan aktivitas penggumpalan,
sehingga terbentuk deposit fibrin pada
permukaan sel bakteri yang dapat menghambat fagositosis.
3. Hemolisin
Hemolisin merupakan toksin yang
dapat membentuk suatu zona hemolisis di
sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus
terdiri dari alfa hemolisin, beta hemolisisn,
dan delta hemolisisn. Alfa hemolisin adalah
toksin yang bertanggung jawab terhadap
pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni
S. aureus pada medium agar darah. Toksin
ini dapat menyebabkan nekrosis pada kulit
hewan dan manusia. Beta hemolisin adalah
toksin yang terutama dihasilkan Stafilokokus yang
diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis
pada sel darah merah domba dan sapi.
Sedangkan delta hemolisin adalah toksin yang dapat melisiskan
sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel darah
merah domba.
4. Leukosidin
Toksin ini dapat mematikan sel
darah putih pada beberapa hewan. Tetapi
perannya dalam patogenesis pada manusia
tidak jelas, karena Stafilokokus patogen tidak
dapat mematikan sel-sel darah putih manusia
dan dapat difagositosis.
5. Toksin eksfoliatif
Toksin ini mempunyai aktivitas
proteolitik dan dapat melarutkan matriks
mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan
pemisahan intraepitelial pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin
eksfoliatif merupakan penyebab Staphylococcal Scalded Skin
Syndrome, yang ditandai dengan melepuhnya kulit (Warsa,
1994).
6. Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST)
Sebagian besar galur S. aureus yang
diisolasi dari penderita sindrom syok toksik
menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia,
toks in ini menyebabkan demam, syok, ruam kulit,
dan gangguan multisistem organ dalam tubuh (Ryan,
et al., 1994; Jawetz et al., 1995).
7.
Enterotoksin
Enterotoksin adalah enzim yang
tahan panas dan tahan terhadap suasana basa di dalam
usus. Enzim ini merupakan penyebab utama
dalam keracunan makanan, terutama pada makanan
yang mengandung karbohidrat dan protein (Dwijoseputro,
2003).
B. Struktur Bakteri
Staphylococcus aureus
bentuknya bulat atau lonjong (0,8 sampai 0,9), jenis yang tidak
bergerak, tidak berspora dan gram positif. Tersusun dalam kelompok seperti
buah anggur. Pembentukan kelompok ini terjadi karena pembelahan sel terjadi
dalam tiga bidang dan sel anaknya cenderung dekat dengan sel
induknya. Bersifat aerob dan tumbuh baik pada pembenihan yang sederhana
pada temperatur optimum 37oC dan pH 7,4. Merupakan salah satu bakteri
yang cukup kebal diantara mikroorganisme yang tidak berspora tahan panas pada
suhu 60oC selama 30 menit, tahan terhadap fenol selama 15 menit (Irianto,
2008).
Struktur bakteri atau struktur metaboliknya terbagi atas
sebagai berikut :
a. Metabolik
eksotoksin
Kebanyakan toksin protein dipanggil
eksotoksin kerana ia dibebaskan dari bakteria dan bertindak ke atas sel hos
jauh dari tempat ia dihasilkan. Enterotoksin ialah satu kumpulan eksotoksin
yang lazimnya bertindak ke atas saluran gastrousus. Kebanyakan eksotoksin
dihasilkan semasa fasa eksponen pertumbuhan dan penghasilannya adalah spesifik
untuk sesuatu strain. Toksin bakteria adalah antara racun paling kuat yang
diketahui. Toksin-toksin protein mempunyai persamaan ciri dengan enzim dan amat
spesifik terhadap substrat tertentu serta mekanisme tindakan masing-masing.
Substrat ini mungkin terdiri dari komponen sel tisu, organ atau kecair tubuh.
Eksotoksin bersifat antigenik.
Artinya, secara in vivo, aktivitasnya dapat dinetralkan oleh antibody yang
spesifik untuk eksotoksin tersebut. Beberapa eksotoksin memiliki aktivitas
sitotoksik yang sangat spesifik. Misalnya, toksin botulin yang hanya menyerang
syaraf. Beberapa eksotoksin yang lain memiliki spektrum aktivitas yang lebih
lebar dan menyebabkan kematian (nekrosis) dari beberapa sel dan jaringan (non
spesifik) misalnya toksin yang diproduksi oleh staphylococci, streptococci,
clostridia, dan sebagainya. Toksin dengan spektrum aktivitas yang lebar ini
biasanya merusak membran sel inang dan menyebabkan kematian sel karena
terjadinya kebocoran isi sel.Sitotoksin menyebabkan kerusakan secara intraseluler
(didalam sitoplasma sel inang).
b. Metabolik
Endotoksin
Endotoksin adalah sebahagian dari dinding sel luar bakteria
dan biasanya dikaitkan dengan bakteria Gram negatif kerana ia membentuk
komponen membran luar sel bakteria tersebut. Aktiviti biologi endotoksin
dikaitkan dengan lipopolisakarid (LPS). Ketoksikan LPS bergantung kepada
komponen lipid A dan keimunogenan bergantung kepada komponen polisakarid.
Antigen dinding sel (antigen O) bakteria Gram negatif merupakan komponen LPS.
LPS sering terlibat dalam proses patologi bakteria Gram negatif. Struktur
dinding sel bakteria Gram negatif ditunjukkan dalam rajah berikut:
Bakteria Gram negatif membebaskan kuantiti kecil endotoksin
dalam bentuk larut tetapi sebahagian besarnya tergabung kepada sel dan
dibebaskan apabila sel itu menjalani lisis. Jika dibandingkan dengan eksotoksin
bakteria, endotoksin jauh kurang toksik dan kurang spesifik dalam tindakannya
(kerana ia tidak bertindak sebagai enzim). Endotoksin adalah stabil haba (30
min, 100C) (Irianto, 2008).
C. Faktor Virulensi α-hemolysin
dari Staphylococcus
aureus
Hemolisin merupakan
toksin yang dapat membentuk suatu zona
hemolisis di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari
alfa hemolisin, beta hemolisisn, dan delta
hemolisisn. Alfa hemolisin adalah toksin yang
bertanggung jawab terhadap pembentukan zona
hemolisis di sekitar koloni S. aureus pada
medium agar darah. Toksin ini dapat
menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan
manusia. Beta hemolisin adalah toksin yang
terutama dihasilkan Stafilokokus yang diisolasi dari
hewan, yang menyebabkan lisis pada sel
darah merah domba dan sapi. Sedangkan
delta hemolisin adalah toksin yang dapat melisiskan sel darah merah
manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel darah merah domba
Toksin ini meliputi beberapa toksin yang mematikan jika disuntikan pada hewan,
menyebabkan nekrosis pada kulit, dan mengandung hemolisin yang dapat larut yang
dapat dipisahkan dengan elektroforesis. Toksin alfa (hemolisin) adalah
protein heterogen yang dapat melisiskan eritrosit, merusak trombosit, dan
mungkin identik dengan faktor letal dan faktor dermonekrotik eksotoksin. Toksin
alfa juga mempunyai daya kerja kuat pada otot polos pembuluh darah. Toksin beta
merusak spingomielin dan bersifat racun untuk beberapa jenis sel, termasuk sel
darah merah manusia. Toksin-toksin ini dan dua toksin lainnya, yaitu toksin
gama dan toksin delta, secara antigenik berbeda dan tidak mempunyai hubungan
dengan lisin pada Streptococcus. Eksotoksin yang diberi formalin
menghasilkan toksoid yang antigenik tetapi tidak beracun, namun secara klinis
tidak berguna(Soemarno, 2008).
Staphylococcus aureus ditanam
pada plat agar darah (agar base, Oxoid,
Jerman), dan selanjutnya diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37ºC.
Adanya aktivitas hemolisin ditandai dengan adanya zona hemolisis pada
plat agar darah . Staphylococcus. aureus yang menghasilkan
alfa-hemolisin akan membentuk zona terang di
sekitar koloni, yang menghasilkan
beta-hemolisin akan membentuk zona agak gelap di sekitar
koloni, dan yang menghasilkan gama-hemolisin tidak membentuk
zona hemolisis di sekitar koloni. Sementara itu, kuman yang memproduksi
kombinasi alfa-dan beta-hemolisin akan tampak zona gelap dan terang di sekitar
koloni.
Dari penelitian yang telah dilakukan S.aureus dapat menghasilkan
α-hemolysin yang dapat menginduksi kematian sel eusinofil dan dapat
mengaktivkan inflamasom NLRP3 pada pneumonia yang disebabkan oleh S. aureus .
- α-hemolysin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus dapat menginduksi kematian pada sel eosinophil
Staphylococcus aureus meupakan pathogen yang umum pada manusia, yang dapat menyebabkan gejala
alergi, termasuk dermatitis, nasal polip dan asma yang dikarakteristik oleh
jaringan eosinophilia. Eosinophil dengan menggunakan kandungan granula dapat
menyebabkan kerusakan signifikan pada jaringan. Dalam mekanismenya menginduksi
kematian pada eosinophil adalah dengan α-hemolysin sebagai
mediator yang secara langsung menghancurkan ephitel dan menginduksi sel mast
untuk menghasilkan histamine dan meningkatkan respon dengan kontraksi otot
polos. Mediator yang dilepaskan dapat menyebabkan terjadinya degranulasi
sebagai bagian dari respon imun bawaan. Adanya degranulasi ini menyebabkan
tidak adanya stimulus yang mengaktivkan eosinophil sehingga eosinophil
mengalami apoptosis seperti pada neutrophil dn ini diikuti dengan pembersihan
jaringan oleh makrofage (Prince et al., 2012).
- α-hemolysin memediasi virulensi dalam model murine dari pneumonia akut melalui aktivasi inflanosom NLRP3
Staphylococcus aureus merupakan pathogen yang berbahaya yang dapat menyebabkan nekrosis
dengan respon imflamasi massive dan kerusakan jaringan. α-hemolysin
adalah salah satu factor virulensi pada
penderita pneumonia. α-hemolysin mengaktivkan domain ikatan
nukleotida dan leusin yang berisi gen keluarga , pirin berisi inflamosom NLRP3
untuk menginduksi interleukin 1betha dan memprogram kematian sel nekrosis.
Pengaturan α-hemolysin memediasi pengaktivan NLRP3 dalam pathogenesis S. aureus dalam penyakit pneumonia,
yaitu dengan menginduksi nekrosis pada luka di paru-paru. Kerusakan pulmo
diinduksi dengan mengisolasi α-hemolysin atau yag masih hidup yang dapat menyebabkan sinyal
interleukin 1 betha sebagai bentuk implikasi dari penginduksian NLRP3 dalam
pathogenesis dari penderita infeksi( Kebaier et al.,2012).
BAB
III
PENUTUP
Hemolisin
merupakan toksin yang dapat membentuk suatu
zona hemolisis di sekitar koloni bakteri.
Hemolisin pada S. aureus
terdiri dari alfa hemolisin, beta hemolisisn,
dan delta hemolisisn. Alfa hemolisin adalah
toksin yang bertanggung jawab terhadap
pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni
S. aureus pada medium agar darah. Toksin
ini dapat menyebabkan nekrosis pada kulit
hewan dan manusia. Beta hemolisin adalah
toksin yang terutama dihasilkan Stafilokokus yang
diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada
sel darah merah domba dan sapi.
Sedangkan delta hemolisin adalah toksin yang dapat melisiskan
sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel
darah merah domba. S.aureus
dapat menghasilkan α-hemolysin yang dapat
menginduksi kematian sel eusinofil dan dapat mengaktivkan inflamasom NLRP3 pada
pneumonia yang disebabkan oleh S.
aureus .
DAFTAR PUSTAKA
Dwidioseputro. 2003. Dasar-Dasar
Mikrobiologi. Jakarta. Djambatan
Irianto, Koes. 2008. Mengenal
Dunia Bakteri. Bandung. PT Pringgandani
Kebaier,
C. , R. R. Chamberland, I. C. Allen, X. Gao, P. M. Broglie, J. D. Hall, C.
Jania, C. M. Doerschuk, S. L. Tilley. J. A. Duncan. 2012. Staphylococcus aureus α-hemolysin Mediated
Virulence in a Murine Model of Severe Pneumonia Through Activation of the NLRP3
Inflammasome. The Journal of Infection
Diseases. 205 : 807-817
Prince, L.
R. , K. J. Graham, J. Connolly, S. anwar, R. Ridley, I. Sabroe, S. J. Foster,
M. K. B. Whyte. 2012. Staphylococcus
aureus Induces Eosinophil
Cell Death Mediated by α-hemolysin. PlosOne. 7 (2) : 1-11
Soemarno. 2008.
Isolasi Dan Identifikasi Bakteri Klinik.
Akademi Analis Kesehatan Yogyakarta. Depdiknas
0 komentar:
Posting Komentar
Syukron^^